Kalimat tersebut sering kita jumpai sebelum memasuki bulan Ramadhan ini, dan sekarang ada sedikit ketertarikan manakala satu kalimat yang tak pernah abis di telinga kita namun sangat berpengaruh terhadap manfaat tidaknya dari segala hal yang kita kerjakan. " BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM ". Kalimat ini begitu amppuh dan saktinya sehingga amalan seorang muslim diterima atau tidak dihadapan ALLOH SWT.
Ada suatu pemaparan panjang lebar dalam suatu kitab klasik yakni Al-Hikam karya Syeikh Ahmad Athoilah.
berikut kutipannya:
Al-Hikam: Hakikat Cinta Kepada Allah
Mengenai
hakikat cinta kepada Allah s.w.t. menurut pandangan hakikat hikmah Tauhid dan
Tasawuf, sebagaimana telah diungkapkan oleh Maulana Imam Ibnu Athaillah
Askandary dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut: "Orang yang begitu
sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan balasan sesuatu dari pihak
yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu maksud dari pihak yang ia cintai,
karena orang yang begitu sangat cintanya itu ialah orang yang memberi buat
anda, bukanlah orang yang begitu sangat cintanya itu merupakan orang dimana
anda memberi buatnya." Kalam Hikmah ini, sepintas lalu sulit juga
menangkapnya, apabila tidak kita berikan penjelasan sebagai berikut: Apabila
cinta dapat dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud tertentu, pada
hakikatnya itu tidak dapat dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang
demikian, adalah cinta yang dapat dibuat, demi untuk sampai kepada tujuan yang
dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang mencintai seseorang supaya seseorang
itu memberikan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada
yang mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya
sendiri, bukan mencintai orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu
yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia tidak akan
mencintai orang yang dicintainya itu. Karena itulah, hakikat cinta pada orang
yang mencintai, adalah memberikan keseluruhan yang ada pada dirinya demi untuk
mendapatkan kerelaan daripada pihak yang dicintainya. Tanpa ada sesuatu yang ia
ingin capai, berupa sesuatu yang sifatnya lahiriah dari pihak yang dia cintai.
Sehingga tidak ada apa-apa lagi yang dimiliki olehnya, selain semuanya itu ia
serahkan kepada pihak yang ia cintai. Atau boleh dikatakan, bahwa yang
mencintai adalah dibunuh oleh kecintaannya itu, sehingga tidak ada tujuannya
selain daripada kerelaan dari pihak yang dicintai. Misalnya saja seperti yang
diungkapkan oleh pengarang Iqazul Himam fi Syarhil Hikam, tentang contoh
seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Laki-laki itu berkata: "Aku
betul-betul cinta padamu." Wanita itu menjawab: "Betapa anda cinta
kepada saya, padahal yang duduk di belakang anda itu adalah lebih baik."
Mendengar itu, si pria tadi memalingkan mukanya melihat wanita yang ada di
belakangnya, maka setelah wanita itu melihat bahwa pria itu memalingkan mukanya
melihat wanita yang ada dibelakangnya, dia berkata: "Anda ini adalah
manusia yang tidak baik. Anda mengatakan begitu cinta kepadaku, tetapi anda
palingkan muka anda melihat kepada selainku." Itulah sebuah contoh dan
apabila contoh ini kita kiaskan kepada hubungan cinta kita selaku hamba Allah
kepada Tuhan Pencipta alam, Allah s.w.t., juga demikian. Kita mengatakan,
kepada diri kita dan kepada orang lain, bahwa kita cinta kepada Allah, tetapi
juga hati kita memalingkan cintanya kepada sesuatu yang selainNya, atau
merasakan sesuatu selain Allah, yang mempengaruhi hati kita. Maka ini
menunjukkan cinta kita kepada Allah tidak full, tetapi adalah tidak lebih
daripada dakwaan semata-mata. Selanjutnya Apabila kita begitu mencintai
sesuatu, maka hendaklah jiwa raga kita itu, kita berikan buat sesuatu itu.
Demikian pula, kecintaan seseorang kepada orang yang dia cintai, dia harus
memberikan segala-galanya kepada pihak yang dia cintai. Dan bukanlah
kebalikannya. Demikianlah kecintaan kita kepada Allah s.w.t., tidak boleh
dipalingkan kepada selainNya. Karena itu, apabila kita beribadah karena
mengharapkan syurgaNya berarti kita mencintai Syurga. Dan bukan mencintai
Allah. Sebab hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju semata-mata kepada Allah
dan kita lupa kepada hal-hal yang lain selain dariNya. Apakah itu merupakan
keuntungan kita berupa pahala dari Allah ataukah itu merupakan hajat-hajat kita
kepadaNya. Ada sebuah contoh kejadian, yang telah terjadi pada seorang Waliyullah
bernama Ibrahim bin Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon
kepada Allah, seraya saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, jika Engkau telah
memberikan kepada seseorang dari orang-orang yang cinta kepadaMu ketenteraman
hati sebelum bertemu dengaMu, maka Engkau berikan pulalah kepadaku yang
demikian. Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi cintaku kepadaMu."
Ibrahim bin Adham meneruskan katanya: Setelah sering aku berdoa demikian aku
bermimpi, seolah-olah aku diperintahkan Allah berdiri di hadapanNya, dan Dia
'berkata' kepadaku: Hai Ibrahim (bin Adham), tidaklah engkau bermalu kepadaKu,
bahwa engkau memohon kepadaKu, supaya hatimu tenteram sebelum bertemu denganKu.
Apakah begitu orang yang sangat rindu hatinya akan dapat tenteram, kalau tidak
bertemu dengan yang dicintainya . Apakah orang yang begitu cinta hatinya akan
dapat tenang, tanpa bertemu dengan yang ia rindukan? Ibrahim (bin Adham)
menjawab: "Wahai Tuhanku, aku bingung, dalam cinta terhadapMu. Maka aku
tidak tahu, apa yang aku katakan, karena itu Engkau ampunkan dosaku, Engkau
ajarlah aku ya Allah, apa yang seharusnya aku mesti katakan." Tuhan
menjawab: Katakanlah olehmu: "Wahai Tuhan, Engkau ridhailah aku dengan
keputusan-keputusanMu, Engkau sabarlah aku atas cubaan-cubaanMu, Engkau ilhamkanlah
kepadaku, untuk mensyukuri nikmat-nikmatMu." Demikianlah, kejadian
mengenai cinta antara hamba dengan Tuhannya, bagi diri Ibrahim bin Adham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran & Kritik yg Membangun... OK!